Hi, this is me Lea again. Today, I want to tell you guys a story that doesn’t have any purpose to disfigure
others. And for this time, I’m gonna speak in Indonesian.
Kisah ini adalah kisah nyata.
Kisah yang sanggup mengusik hati nuraniku.
Kisah yang merupakan salah satu kenyataan pahit dalam hidup,
namun memberikan suatu nilai berharga.
Kisah ini kisah yang mengajarkanku tentang ketulusan.
“Dia hidup dalam suatu pengabdian, dibawah kepahitan dan dijalani oleh
ketulusan.”
Sebut saja namanya X. Usianya sudah lanjut, namun
semangatnya tak pernah patah dalam menjalani tugasnya sehari-hari. Ia adalah
guru. Ia mengajar di sebuah sekolah swasta di kota Y sebagai guru suatu mata
pelajaran.
Bisa dibilang, mata pelajaran yang ia ajar adalah mata
pelajaran yang tidak mendapat tanggapan cukup baik dari kebanyakan siswa-siswi
di sekolah tersebut. Mungkin sebagian siswa-siswi disana berpikir bahwa mata
pelajaran yang diajarkannya tidak berguna untuk mereka. Maka itu, timbul segala
bentuk ketidakpedulian di setiap kelasnya.
Setiap hari, dengan tekun, ia berangkat ke sekolah untuk
mengajar. Ia tidak naik mobil, ataupun motor. Ia mengendarai sepedanya. Panas
terik, dinginnya hujan, tidak pernah meredupkan semangatnya untuk mengajar
siswa-siswi di sekolah.
Dan dari situ, kisah yang mengusik hati nuraniku dimulai…
Hari itu, di kota Y, hujan turun cukup deras sejak pagi
hari. Memang, saat itu adalah musim hujan. Beberapa siswa tampak datang
terlambat dan kehujanan. Namun, aku melihat sebagian besar di kelasku sudah
datang dan tidak kehujanan. Hari itu pun, kita sudah siap belajar.
Aku yakin, sebagian besar dari siswa-siswi di kelasku
merasakan hal yang sama. Kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan
dari belajar, karena pada jam ketiga sampai keempat kelas akan diajar oleh X.
Dimana kegiatan belajar tidak akan berjalan sebagaimana layaknya kegiatan belajar
pelajaran lainnya.
Setelah dua jam pelajaran berlalu, hujan masih saja turun.
Setelah guru jam pertama dan kedua keluar dari kelas, kelas langsung ramai. Hal
itu memang terjadi di setiap pergantian pelajaran. Tapi tidak dipergantian
pelajaran ini, selain kelas mendadak ramai, banyak anak yang keluar dari kelas.
Tiba-tiba dari pintu kelas yang terbuka, masuklah X dengan jas hujan yang
setengah terlipat, ditangannya.
Ia masuk perlahan, karena memang usianya sudah lanjut, ia
berjalan tidak secepat guru-guru muda lainnya. Ia masuk, lalu duduk dan melipat
jas hujannya. Anak-anak di dalam kelas masih dengan kesibukannya masing-masing
dan tidak begitu menghiraukan kedatangannya.
Selesai melipat, ia menyapa kami dan mengajak kami untuk
ulangan. Beberapa menolak dengan alasan tertentu. Dia terdiam dan kemudian kami
semua kembali dengan kesibukan kami masing-masing. Untuk waktu yang cukup lama,
ia terdiam dan memperhatikan kami semua. Tidak ada kemarahan dalam tatapannya.
Ia hanya memandangi kami, lalu ia mengambil kacamatanya dan mulai menulis
sesuatu di kertasnya.
Satu jam berlalu dan dengan begitu saja, kami keluar dari
kelas untuk beristirahat. Dia juga turut keluar. Selesai istirahat, kami
kembali ke kelas dan hal itu tidak merubah keadaan. Kelas masih dipenuhi
anak-anak yang kembali sibuk dengan
aktifitasnya masing-masing.
Tibat-tiba, salah seorang teman dekatku bermaksud ingin
menanyakan suatu yang berhubungan dengan pelajaran pada X. Kami berdua maju, ia
tampak sangat antusias. Ia mengenakan kembali kacamatanya dan menanggapi
pertanyaan kami. Begitu kami selesai dengan keperluan kami, kami bermaksud
untuk kembali ke tempat duduk kami. Kami tidak tahu apa lagi yang dapat kami
tanyakan padanya, namun wajahnya sarat akan pengharapan.
Akhirnya kami kembali ke tempat duduk kami. Beberapa menit
berlalu dan keadaan di kelas tidak
berubah. Di tengah “kesibukan” kami, ia memandang kami satu persatu, berusaha
mencari celah yang dapat ia masuki untuk mengajar kami. Akhirnya matanya
bertemu dengan mataku, yang kebetulan, saat itu sedang melihat ke arahnya. Ia
melontarkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan pelajarannya.
Saat itu aku tidak mengerti apa yang dia tanyakan, jadi aku
jawab seadanya sambil tersenyum-senyum. Ia lalu terdiam sebentar dan tak lama,
ia melihat ke arahku lagi dan memberikan tanggapan tentang jawabanku. Ia tidak
menyinggung kesalahanku. Ia masih berusaha untuk mengajakku bicara.
Keadaan kelas yang ribut dan aku yang berbicara cukup keras
untuk menjawab pertanyaannya, membuat posisiku tidak nyaman. Akhirnya aku
perlahan menunduk dan tersenyum canggung. Sekilas kulihat kekecewaan dimatanya.
Namun ia tetap sembunyikan dengan
senyumnya. Matanya kembali mencari, berusaha mencari celah untuknya dapat
masuk. Aku berusaha menutup mata dan tidak melihat apa yang terjadi saat ini,
aku berusaha menulikan telinga, menganggap aku tidak sedang berada di kelas
saat itu. Mengingat kenyataan bahwa aku tidak bisa berbuat apapun.
Waktu terus berjalan, tak terasa mendekati pergantian
pelajaran lagi. Tiba-tiba saja, ia bangkit berdiri dan menulis di papan tulis.
Ia menerangkan bahwa apa yang ia tulis akan keluar saat test semester nanti.
Dan saat itu, tidak ada yang mencatat dan bahkan menyadarinya menulis itu.
kecuali beberapa siswi yang tampak maju dengan buku mereka dan mulai mencatat.
Akhirnya, bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Kami tetap
sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Tanpa berkata apapun, ia berjalan
perlahan meninggalkan kelas dan aku rasa, tidak banyak yang menyadari hal itu.
Kecuali kedua orang temanku, mereka yang melihat itu langsung meneriakkan
terima kasih padanya. X menoleh dan tersenyum, sebelum akhirnya berlalu
meninggalkan kelas. Senyumnya adalah senyum terima kasih.
Aku yang baru menyadari hal itu, langsung berlari ke arah
pintu kelas. Aku melihat ia sedang mengenakan kembali jas hujannya, karena saat
itu masih hujan. Banyak siswa-siswi kelas lain sedang berlalu lalang, namun tak
satupun menyapanya. Semua berlalu begitu saja. Dari ambang pintu, aku
berteriak, “Terima kasih pak! Hati-hati ya!” kataku dengan perasaan aneh yang
berkecamuk di dada.
Ia menoleh dan tersenyum sekali lagi. Tidak ada kemarahan
dalam tatapannya. Malahan, sebuah senyum terima kasih. Ia berlalu menuju
parkiran. Dari jauh, kami melihat ia mulai mengayuh sepedanya dan menerjang
hujan. Dan saat itu aku berpadangan dengan temanku, lalu air mata menuruni pipi
kami masing-masing.
Dia hidup dalam suatu pengabdian.
Tak peduli berapa usianya, berapa besar kemampuan dan usaha
yang dapat ia lakukan, ia tetap mengabdi pada tugasnya.
Di bawah kepahitan.
Diremehkan. Tidak diacuhkan. Tidak dihormati. Bahkan dianggap
tidak ada. Pernahkah kalian membayangkan bila hal itu menimpa kalian? Bukankah itu
hal yang pahit? Dan bila kalian mengalami hal itu, mungkin kalian memilih untuk
tidak keluar rumah.
Dijalani dengan ketulusan.
Mungkin kedatangannya setiap hari ke sekolah merupakan hal
biasa. Tapi tahukah kalian, bahwa hanya orang yang kuat hatinya dan memiliki
ketulusan hati tetap menjalani kehidupannya? Walau mungkin menerima perlakuan
yang tidak sepantasnya dari lingkungannya.
Sejak air mataku turun begitu saja, aku mulai menyelami
perasaan aneh yang sedari tadi berkecamuk dalam diriku. Aku memang seorang
melankolis, tapi tidak, tidak pernah aku menangis untuk seorang guru. Apalagi
seorang yang tidak begitu aku kenal. Selama ini, hubunganku dengan guru adalah
sebatas pengajar dan murid yang diajar.
Namun saat itu, aku merasa aku tidak bisa selamanya menutup
mata. Dihadapanku ada seseorang yang sedang mengalami “pembunuhan karakter”. Walaupun
senyumnya, semangatnya mengatakan hal yang berlawanan, namun sesungguhnya
hatinya terluka. Tetapi ia bertahan dan bahkan mungkin melupakan sakit hatinya.
Karena sampai detik ini, ia masih terus hadir dan berusaha membagi ilmunya.
Walau mungkin hati nuraninya sadar bahwa keberadaannya disini tidak dihiraukan
dan bahkan dilupakan. Walau mungkin hati nuraninya sadar, ia bukan siapa-siapa
dan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki keadaan.
Aku sadar, aku pernah tidak menghiraukannya.
Namun sejak kejadian hari itu, hati nuraniku benar-benar
terusik.
Aku bersyukur, aku masih diingatkan oleh Tuhan.
Aku masih diberi kesempatan untuk menghargai orang lain.
Mungkin aku tidak bisa berbuat banyak,
tapi aku masih bisa menjadi seorang yang peduli dan menghargainya,
di dalam segala kekuranganku sebagai seorang manusia.
Mungkin ia memiliki kekurangan yang banyak dicela orang.
Tapi tidak tahukah kalian?
Ia memiliki ketulusan dan kesabaran yang (mungkin) kalian
belum miliki.
Loves,
Lea.